Erlinda Ika Mawarti, Guru PPKn SMA IT Abu Bakar Yogyakarta
Harian Jogja: Kamis, 21 Juli 2022 – 07:07 WIB
Masa transisi sistem pembelajaran yang berangkat dari kondisi pandemi Covid-19 ke kondisi normal membutuhkan strategi pembelajaran yang tepat untuk mengatasi ketertinggalan pembelajaran atau learning loss yang terjadi selama pandemi.
Adanya keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan No.719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam kondisi khusus belum mampu menjadi solusi atas ketertinggalan pembelajaran atau learning loss yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia.
Terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 56/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum Dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran, dengan mengusung Kurikulum Merdeka.
Skema penerapan Kurikulum Merdeka dilaksanakan dengan tiga tahap yakni tahun pertama dilaksanakan bagi peserta didik dengan usia lima sampai enam tahun pada pendidikan anak usia dini, serta kelas I, kelas IV, kelas VII, dan kelas X pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Tahun kedua dilaksanakan bagi peserta didik dengan usia empat sampai enam tahun pada pendidikan anak usia dini, serta peserta didik kelas I, kelas II, kelas IV, kelas V, kelas VII, kelas VIII, kelas X, dan kelas XI pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Tahun ketiga dilaksanakan bagi peserta didik dengan usia tiga sampai enam tahun pada pendidikan anak usia dini serta peserta didik kelas I, kelas II, kelas III, kelas IV, kelas V, kelas VI, kelas VII, kelas VIII, kelas IX, kelas X, kelas XI, dan kelas XII pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Kurikulum Merdeka yang dicanangkan oleh pemerintah sebagaimana tertulis dalam salinan lampiran Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No.56/M/2022 bahwa struktur kurikulum merdeka baik di tingkat PAUD maupun Pendidikan Dasar dan Menengah terdiri dari kegiatan pembelajaran intrakurikuler dan penguatan profil pelajar Pancasila. Kegiatan pembelajaran intrakurikuler untuk setiap mata pelajaran mengacu pada capaian pembelajaran dan kegiatan proyek penguatan profil pelajaran Pancasila ditujukan untuk memperkuat upaya pencapaian profil pelajar Pancasila yang mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan.
Profil pelajar Pancasila yang dicanangkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan bertujuan untuk melahirkan siswa yang memiliki beberapa kompetensi yakni karakter beriman bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia; berkebhinekaan global; bergoyong-royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif.
Hal ini menjadikan ketidaksinkronan pokok pelajaran yang dipelajari mengingat Pancasila terdiri dari lima sila yaitu Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menjadi warga negara yang baik perlu dipersiapkan sejak dini salah satunya melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan di kawasan Asia seperti Arab Saudi, Singapura dan China memiliki tujuan untuk menjadikan “warga negara yang baik” yang mana sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku di negara tersebut, alias untuk me-landing-kan kepentingan politik rezim yang berkuasa.
Bukan Semata Karya
Dengan diluncurkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dapat berpotensi untuk memuluskan kepentingan rezim yang berkuasa. Mengingat peringatan Hari Lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni. Jika kita kembali membaca sejarah perumusan Pancasila tidak hanya 1 Juni namun ada Muhammad Yamin yang mengemukakan pendapat usulan rancangan dasar negara pada 29 Mei dan Soepomo yang mengemukakan rancangan dasar negara pada 31 Mei.
Selain itu Pancasila yang tersusun bukanlah semata karya satu orang saja namun Pancasila adalah karya bersama seperti yang ditulis oleh Yudi Latif pada bukunya yang berjudul negara Paripurna. Hal ini akan menimbulkan “paham Soekarnoisme” yang menggeser peran tokoh perumus dasar negara lainnya.
Hal ini akan mengaburkan sejarah yang dipahami oleh peserta didik yang nantinya menjadi warga negara yang tidak utuh memahami sejarah Bangsanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan kewarganegaraan memang rentan dipengaruhi oleh sistem politik yang berjalan seperti yang terjadi di negara-negara kawasan Asia dalam rangka mewujudkan “warga negara yang baik” dan memiliki moralitas.
Dengan kata lain mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan melalui nomenklatur terbaru yaitu mata pelajaran pendidikan Pancasila sebagai cara rezim untuk melakukan doktrin “warga negara yang baik” sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Sehingga mata pelajaran pendidikan Pancasila dengan membawa gagasan profil pelajar Pancasila berpotensi sebagai alat untuk melancarkan kepentingan penguasa.
Editor: Maya Herawati
opini.harianjogja.com